2 minggu ini saya sedang menjalani masa-masa UTS (Ujian
Tengah Semester). Ini ujian pertama saya di PE FE UI. Jika ditanya bagaimana
rasanya? Saya bahkan tidak bisa benar-benar menggambarkan bagaimana. Ujian disini
sangat berbeda dengan saya yang sebelumnya di Vokasi. Pertama dari bahan ujian,
5 matkul dengan masing-masing 10 chapter(ini udah mabok rasany). Selanjutnya toleransi
keterlambatan, di PEFE toleransi keterlambatan ujian hanya 15 menit, lebih dari
itu tidak akan bisa mengikuti ujian, di Vokasi, mau kamu telat berapa menit
juga, kamu bisa masih tetap bisa mengikuti ujian. Lainnya, kartu ujian, tidak
membawa kartu ujian dengan alasan apapun kamu akan didenda 50rb.
Hari itu, Senin, ujian Manajemen Keuangan, mahanya kelima
mata kuliah. Dan di hari itu juga saya tidak masuk ke kantor sodara, kalau
ditanya kenapa, saya meriang, perut kembung hasil begadang bersama kopi. Dengan
santainya, merasa belajar udah beres, bisa fresh berangkat ke kampus karena gak
ngantor, saya santai-santai aja siapin bahan yang akan dibawa ke kampus.
Setelah memilah akhirnya memutuskan untuk
membawa, notes, tempat pensil, kalkulator, latihan-latihan soal minus
buku besar, dan dompet. Hari itu bawaannya memang super simple. Dan saya gak
juga sadar kalau ada hal yang lebih penting dari itu semua, tertinggal.
Sampai di parkiran kampus, ada salah seorang teman di sebrang
yang nyeletuk “Eh bentar gue cari kartu ujian dulu yaa”. Saya langsung refleks
teriak gara-gara baru sadar gak bawa kartu ujian, langsung cek tas dan ternyata
memang gak ada. Ya sudahlah berarti memang harus ke Sekre dan membayangkan akan
membayar 50rb *haft*. Kemudian saya langsung solat dan ngacir ke Sekre. Sampai
di sekre saya bilang ke ibu TU.
Lita : “Bu,
kartu ujian saya ketinggalan, biar bisa ikut ujian gimana ya bu?”
Bu TU : “ Denda 50rb
ya Mbak, nanti kartunya saya cetakan duplikatnya”
Lita :
>,<
Sumpah super shocked, walaupun udah tau harus bayar 50rb,
baru sadar kalau aturan itu beneran, bukan trigger semata. Daripada panjang
lebar, saya langsung menyodorkan 30rb (berhub cuma ada recehan 30rb), karena
kurang KTM saya ditahan sementara.
Disaat yang sama saya melihat teman saya satu kelas saya, Kak
L, sedang duduk di dalam ruangan Sekre dan terlihat dari samping menyeka air
mata. Saya gak tau kenapa, tapi pas Kak L keluar mukanya merah, dan sepertinya
menangis.
Saat itu juga saya ingin menanyakan tapi saya urungkan mengingat waktu ujian sudah
mulai.
20 menit berselang, ada orang Sekre yang masuk ke ruangan
saya dan memberikan kartu ujian ke Kak L.
Oh, ternyata tadi Kak L gak bawa kartu, tapi kenapa nangis yaaa.
Dalam benak saya. Tapi hari itu saya masih urung menanyakan.
Dua hari setelahnya, kami bertemu lagi, saya dan kak L,
sehabis ujian Statistika. Kemudian kami solat jamaah Isha bersama.
Sehabis solat saya tanyakan lah, kejadian di Senin itu,
dimana kak L menangis, setelah keluar dari Sekre.
Lita : “ Kak L,
kemarin kakak kenapa waktu keluar dari Sekre itu.”
Kak L : “Kapan ya
ta?”
Lita : “ Senin
kak, waktu ujian MK, yang kakak gak bawa kartu ujian itu”
Kak L : “Oh itu. Kamu lihat aku nangis kan ya.
Hari itu aku bête bangeet. Aku gak bawa kartu ujian, ketinggalan di kantor, gak
mungkin dong udah sampe sini balik ke kantor lagi buat ambil kartu. Aku langsung
ke sekre dan aku kaget suruh bayar 50rb. Gak maulah aku. Masa iya Cuma gara-gara
ketinggalan kartu, yang bahkan bisa aku cetak sendiri harus bayar semahal itu.
Apa alasannya coba kalau bukan komersil”
Lita : (termenung)
Kak L : “Terus aku gak mau bayar, dan aku
diminta masuk ke ruangan sekre. Aku tanyalah pihak Kabag TU nya yang waktu itu
aku temui. Mulai dari esensi pembayaran, ini aturan atau kebijakan, sampai
tujuannya apa, kalau bukan komersil semata. Katanya buat efek jeralah. Aku adu argument
tu, sampai akhirnya aku keluar ruangan dan aku tetep gak mau bayar. Tapi ya KTM
ku disita sih. Masa iya kita bayar untuk sesuatu yang gak jelas esensi dan
tujuannya apa?”
Saat itu, saya langsung merasa tertohok-tohor sama cerita
kak L. Saya menjadi orang yang hanya follow the system tanpa tau kenapa
akhirnya sistem menjadi seperti itu.
Disinilah kita pada umumnya, tidak mau tau lebih lanjut
hanya mau mudahnya saja. Ya daripada ribet berdebat udah bayar aja kamu bisa
langsung ujian. Its easy right? Even its too expensive.
Ini benar-benar menjadi pelajaran, bahwa kita harus kritis
dengan aturan-aturan yang ada di sekitar kita, kenapa aturan dibuat seperti
itu, untuk apa aturan dibuat dsb. Bisa saja tindakan yang saya lakukan itu
menjadi salah satu bentu pungli yang ujungnya bahkan bisa mengarah ke korupsi.
So, are you critical enough?