Rabu, 29 Oktober 2014

Kartu Ujian : Sudahkah kamu bersikap kritis?

2 minggu ini saya sedang menjalani masa-masa UTS (Ujian Tengah Semester). Ini ujian pertama saya di PE FE UI. Jika ditanya bagaimana rasanya? Saya bahkan tidak bisa benar-benar menggambarkan bagaimana. Ujian disini sangat berbeda dengan saya yang sebelumnya di Vokasi. Pertama dari bahan ujian, 5 matkul dengan masing-masing 10 chapter(ini udah mabok rasany). Selanjutnya toleransi keterlambatan, di PEFE toleransi keterlambatan ujian hanya 15 menit, lebih dari itu tidak akan bisa mengikuti ujian, di Vokasi, mau kamu telat berapa menit juga, kamu bisa masih tetap bisa mengikuti ujian. Lainnya, kartu ujian, tidak membawa kartu ujian dengan alasan apapun kamu akan didenda 50rb.

Hari itu, Senin, ujian Manajemen Keuangan, mahanya kelima mata kuliah. Dan di hari itu juga saya tidak masuk ke kantor sodara, kalau ditanya kenapa, saya meriang, perut kembung hasil begadang bersama kopi. Dengan santainya, merasa belajar udah beres, bisa fresh berangkat ke kampus karena gak ngantor, saya santai-santai aja siapin bahan yang akan dibawa ke kampus. Setelah memilah akhirnya memutuskan untuk  membawa, notes, tempat pensil, kalkulator, latihan-latihan soal minus buku besar, dan dompet. Hari itu bawaannya memang super simple. Dan saya gak juga sadar kalau ada hal yang lebih penting dari itu semua, tertinggal.

Sampai di parkiran kampus, ada salah seorang teman di sebrang yang nyeletuk “Eh bentar gue cari kartu ujian dulu yaa”. Saya langsung refleks teriak gara-gara baru sadar gak bawa kartu ujian, langsung cek tas dan ternyata memang gak ada. Ya sudahlah berarti memang harus ke Sekre dan membayangkan akan membayar 50rb *haft*. Kemudian saya langsung solat dan ngacir ke Sekre. Sampai di sekre saya bilang ke ibu TU.

Lita         : “Bu, kartu ujian saya ketinggalan, biar bisa ikut ujian gimana ya bu?”
Bu TU    : “ Denda 50rb ya Mbak, nanti kartunya saya cetakan duplikatnya”
Lita         : >,<

Sumpah super shocked, walaupun udah tau harus bayar 50rb, baru sadar kalau aturan itu beneran, bukan trigger semata. Daripada panjang lebar, saya langsung menyodorkan 30rb (berhub cuma ada recehan 30rb), karena kurang KTM saya ditahan sementara.

Disaat yang sama saya melihat teman saya satu kelas saya, Kak L, sedang duduk di dalam ruangan Sekre dan terlihat dari samping menyeka air mata. Saya gak tau kenapa, tapi pas Kak L keluar mukanya merah, dan sepertinya menangis.

Saat itu juga saya ingin menanyakan  tapi saya urungkan mengingat waktu ujian sudah mulai.
20 menit berselang, ada orang Sekre yang masuk ke ruangan saya dan memberikan kartu ujian ke Kak L.

Oh, ternyata tadi Kak L gak bawa kartu, tapi kenapa nangis yaaa. Dalam benak saya. Tapi hari itu saya masih urung menanyakan.

Dua hari setelahnya, kami bertemu lagi, saya dan kak L, sehabis ujian Statistika. Kemudian kami solat jamaah Isha bersama.
Sehabis solat saya tanyakan lah, kejadian di Senin itu, dimana kak L menangis, setelah keluar dari Sekre.
Lita         : “ Kak L, kemarin kakak kenapa waktu keluar dari Sekre itu.”
Kak L      : “Kapan ya ta?”
Lita         : “ Senin kak, waktu ujian MK, yang kakak gak bawa kartu ujian itu”
Kak L      : “Oh itu. Kamu lihat aku nangis kan ya. Hari itu aku bĂȘte bangeet. Aku gak bawa kartu ujian, ketinggalan di kantor, gak mungkin dong udah sampe sini balik ke kantor lagi buat ambil kartu. Aku langsung ke sekre dan aku kaget suruh bayar 50rb. Gak maulah aku. Masa iya Cuma gara-gara ketinggalan kartu, yang bahkan bisa aku cetak sendiri harus bayar semahal itu. Apa alasannya coba kalau bukan komersil”
Lita         : (termenung)
Kak L      : “Terus aku gak mau bayar, dan aku diminta masuk ke ruangan sekre. Aku tanyalah pihak Kabag TU nya yang waktu itu aku temui. Mulai dari esensi pembayaran, ini aturan atau kebijakan, sampai tujuannya apa, kalau bukan komersil semata. Katanya buat efek jeralah. Aku adu argument tu, sampai akhirnya aku keluar ruangan dan aku tetep gak mau bayar. Tapi ya KTM ku disita sih. Masa iya kita bayar untuk sesuatu yang gak jelas esensi dan tujuannya apa?”

Saat itu, saya langsung merasa tertohok-tohor sama cerita kak L. Saya menjadi orang yang hanya follow the system tanpa tau kenapa akhirnya sistem menjadi seperti itu.

Disinilah kita pada umumnya, tidak mau tau lebih lanjut hanya mau mudahnya saja. Ya daripada ribet berdebat udah bayar aja kamu bisa langsung ujian. Its easy right? Even its too expensive.
Ini benar-benar menjadi pelajaran, bahwa kita harus kritis dengan aturan-aturan yang ada di sekitar kita, kenapa aturan dibuat seperti itu, untuk apa aturan dibuat dsb. Bisa saja tindakan yang saya lakukan itu menjadi salah satu bentu pungli yang ujungnya bahkan bisa mengarah ke korupsi.

So, are you critical enough?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar